Menyemai Moderasi Beragama: Pendidikan Karakter bagi Generasi Milenial
Oleh: Belly I. Kristyowi
Foto By Ajuan Tuhuteru
Istilah Generasi Milenial atau yang lebih sering disebut Kids Zaman Now maupun Generasi Z merupakan diferensiasi antara generasi zaman dulu yang eksis di tahun 1990an dengan generasi yang sedang eksis zaman sekarang. Dilihat segi usia, dapat dikatakan generasi milenial adalah mereka yang saat ini berada pada rentang umur 15-30 tahun yang mengalami google generation, net generation, generation Z, echo boomers, dan dumbest generation. Selain itu ciri-ciri generasi ini adalah menyukai kebebasan, senang melakukan personalisasi, mengandalkan kecepatan informasi yang instan, suka belajar dan bekerja dengan lingkungan inovatif, aktif berkolaborasi dan hyper technology. Tentunya semua ini turut memberikan dampak positif maupun negatif bagi mereka, termasuk bagi generasi Milenial di Provinsi Maluku. Sehingga hal ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Provinsi Maluku untuk mengarahkan generasi milenial agar selalu mampu berkompetisi dan terhindar dari pengaruh negatif seperti intoleransi, ektremisme dan fanatisme. Oleh karena itu upaya menyemai Moderasi Beragama melalui Pendidikan Karakter bagi Generasi Melenial menjadi salah satu kunci lahirnya kemajuan bagi Provinsi Maluku mewujudkan Indonesia Emas.
Moderasi beragama merupakan bagian dari pendidikan karakter, dalam buku Moderasi Beragama (2019) disebutkan bahwa karakter moderasi meniscayakan adanya keterbukaan, penerimaan dan kerjasama antar kelompok yang berbeda, termasuk suku, etnis, budaya dan agama. Kedudukan karakter sangatlah penting apalagi jika disandingkan dengan kecerdasan “intelligence plus character that is the true aim of education”. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang sangat dibutuhkan sekaligus mampu menjadi jawaban ditengah-tengah badai gelombang teknologi informasi yang menguasai kaum milenial. Tentunya terdapat indikator-indikator pendidikan karakter yang sangat relevan dengan niliai-nilai moderasi beragama, diantaranya adalah sikap religius yang menjadi pengubung antara manusia dengan Tuhan maupun manusia dengan sesamanya. Selain itu terdapat juga sikap toleransi dimana sikap seseorang untuk saling menghormati perbedaan dan memberikan ruang bagi orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya dan meyampaikan pendapat.
Merawat toleransi dengan kondisi masyarakat yang sangat heterogen bukanlah sebuah hal yang mudah, ditambah dengan kondisi hidup orang basudara yang saat ini masih terus berjuang meghadapi gempuran pandemi Covid 19 sekaligus dibarengi dengan trauma akan ancaman gempa bumi di wilayah ini, tentunya memberikan imbas yang seakan mengintai seluruh masyarakat Maluku termasuk generasi ini. Kemampuan setiap orang dalam menerima perbedaan menjadi faktor penting sikap toleransi, toleransi menhadirkan kebaikan untuk hidup berdampingan. Untuk menumbuhkan sikap toleran didalam setiap generasi maka dibutuhkan sikap untuk saling penegrtian, menerima perbedaan antar karakteristik masing-masing generasi.
Keberadaan generasi milenial kini telah memasuki usia produktif yang menuntut
mereka untuk tanggap dan melek terhadap
teknologi. Kesadaran terhadap teknologi ini dapat dipastikan ketika mengamati
secara dekat (gaya) hidup kaum melenial yang kini selalu mengantongi smartphone dalam segala aktivitasnya.
Meski tujuan utamanya digunakan sebagai alat komunikasi namun smartphone ini juga berfungsi sebagai sarana
bersosialisasi, memperoleh informasi maupun mengekspresikan kreatifitas yang
mereka kerjakan. Jika generasi ini memanfaatkan media sosial maupun dan
teknologi dengan benar maka akan mendatangkan berkah, namun jika dimanfaatkan
secara salah maka akan berdampak sebagai alat pemecah. Oleh sebab itu kerjasama
antara pemerintah maupun stakeholder agar selalu membekali
generasi milenial dengan pendidikan karakter sekaligus wawasan keagamaan yang
inklusif dan disaat yang sama memiliki akidah yang mapan. Sehingga dengan
moderasi beragama akan menjadi benteng dari maraknya penyebaran paham
radikalisme maupun intoleransi di dunia maya.
Selain berguna bagi kemaslahatan umum, keberadaan dunia maya juga turut menjadi
salah satu corong bagi penyeru terorisme dan radikalisme. Melalui situs, Blog,
Vlog, Twitter, Instagram, Facebook, WhatnApp dan lain sebagainya inilah
generasi ini menjadi sasaran empuk kelompok teroris atau radikal intoleran,
karena generasi ini memiliki semangat keingintahuan yang tinggi dan mudah dirasuki
oleh berita hoax atau hate speech untuk
mengadu domba, terlebih lagi jika didalamnya disusupkan sentimen SARA maupun ideologi
yang bersifat kekerasan, menyalahkan (kebijakan) pemerintah, hingga
menginginkan kemerdekaan, Tentunya kondisi tersebut mampu merusak nilai-nilai luhur
bangsa dan falsafah bangsa yang berdasarkan Pancasila. Berkaitan dengan hal
itu, mengutip dari pesan Gubernur Irjen Pol (Purn) Drs. Murad Ismail saat membuka
Kongres AMGPM ke-29 tahun 2020, menyampaikan “Pertama, pemuda gereja harus memiliki karakter keberanian. Artinya dari
keberanian yang dimaksud adalah berani mengatakan benar atau salah di
lingkungan sosialnya dan dalam kemasyarakatan; Kedua, Kejujuran. Pemuda gereja
harus dapat mengerjakan hal-hal besar dan setia berlaku jujur terhadap hal-hal
kecil; Ketiga adalah Keadilan, Keadilan akan sangat erat dengan kesejahteraan,…
disinilah peran penting pendidikan karakter dan moralitas AMGMP memahami
hakikat keadilan.”
