Selasa, 14 September 2021

Menyemai Moderasi Beragama: Kearifan Lokal dalam Hidup Orang Basudara

Menyemai Moderasi Beragama: Kearifan Lokal dalam Hidup Orang Basudara

Foto By Ajuan Tuhuteru 
Oleh: Belly I. Kristyowidi

Kesadaran akan nilai-nilai luhur Hidup Orang Basudara telah membentuk Identitas Kemalukuan. Nilai-nilai tersebut telah bermanifestasi dalam Local Wisdom yang menjadi perekat sosial serta menjadi acuan dalam membangun kehidupan yang harmoni dalam diri Orang Basudara. Nilai-nilai kearifan lokal Pela Gandong dengan semboyan Sagu Salempeng Patah jadi Dua yang dapat dijadikan filter dalam menyaring nilai baru maupun menjadi resolusi konflik hingga saat ini. Menjunjung Lokal Wisdom yang telah diwariskan oleh Tete Nene Moyang, bukan berarti mengabaikan kemajuan dan menjadi tertinggal. Sejarah membuktikan bahwa aroma wangi rempah Maluku telah banyak memikat berbagai pihak, selain itu kedamaian dan kerukunan masyarakatnya menjadikan Maluku sebagai barometer perdamaian pasca konflik pada tahun 1999-2002. Hal ini dibuktikan dengan hasil berbagai survey yang menetapkan Provinsi Maluku sebagai provinsi yang paling rukun dan toleran di Indonesia, serta Maluku secara khusus Ambon menjadi laboratorium perdamian yang menjadi daerah studi banding pembangunan kerukunan hidup antar umat beragama.

“Pesatnya arus transformasi global saat ini membentuk lahirnya budaya massa, dengan berpegang pada trend yang kian digemari generasi milenial, didukung oleh media komunikasi sebagai sebuah ketergantungan di masa sekarang, turut menggeser kearifan lokal.” Pernyatan tersebut disampaikan oleh Gubernur Maluku, Murad Ismail, dalam sambutan tertulisnya pada saat prmbukaan PORSENI tahun 2019. Penguatan terhadap kearifan lokal sudah semestinya terus digencarkan oleh berbagai pihak, terutama diberikan kepada generasi milenial dengan menginjeksikan pemahaman ini di ruang publik baik secara formal, non-formal maupun secara virtual atau manual. Hal ini tentunya akan menjadi salah satu tindakan efektif dan bersifat prefentif dalam menghadapi ancaman radikalisme dan intoleransi keagamaan yang dapat memicu kembali terjadinya konflik. Selain itu penguatan kearifan lokal mampu mempertahankan eksistensi budaya serta memperkokoh nasionalisme bangsa ini, sehingga setiap berita atau informasi yang diperolehnya seperti informasi yang menyulut perpecahan baik antar agama, suku, ras tidak serta merta ditelannya begitu saja, hal ini dikarenakan generasi ini telah memiliki fondasi yang kuat berupa nilai-nilai kearifan lokal yang telah tertanam dalam konstruksi keyakinan (belief) pada tatanan personal maupun sosial.

Kamis, 09 September 2021

Menyemai Moderasi Beragama: Pendidikan Karakter bagi Generasi Milenial

Menyemai Moderasi Beragama: Pendidikan Karakter bagi Generasi Milenial

 Menyemai Moderasi Beragama: Pendidikan Karakter bagi Generasi Milenial

Oleh: Belly I. Kristyowi
Foto By Ajuan Tuhuteru

Istilah Generasi Milenial atau yang lebih sering disebut Kids Zaman Now maupun Generasi Z merupakan diferensiasi antara generasi zaman dulu yang eksis di tahun 1990an dengan generasi yang sedang eksis zaman sekarang. Dilihat segi usia, dapat dikatakan generasi milenial adalah mereka yang saat ini berada pada rentang umur 15-30 tahun yang mengalami google generation, net generation, generation Z, echo boomers, dan dumbest generation. Selain itu ciri-ciri generasi ini adalah menyukai kebebasan, senang melakukan personalisasi, mengandalkan kecepatan informasi yang instan, suka belajar dan bekerja dengan lingkungan inovatif, aktif berkolaborasi dan hyper technology. Tentunya semua ini turut memberikan dampak positif maupun negatif bagi mereka, termasuk bagi generasi Milenial di Provinsi Maluku. Sehingga hal ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Provinsi Maluku untuk mengarahkan generasi milenial agar selalu mampu berkompetisi dan terhindar dari pengaruh negatif seperti intoleransi, ektremisme dan fanatisme. Oleh karena itu upaya menyemai Moderasi Beragama melalui Pendidikan Karakter bagi Generasi Melenial menjadi salah satu kunci lahirnya kemajuan bagi Provinsi Maluku mewujudkan Indonesia Emas.

Moderasi beragama merupakan bagian dari pendidikan karakter, dalam buku Moderasi Beragama (2019) disebutkan bahwa karakter moderasi meniscayakan adanya keterbukaan, penerimaan dan kerjasama antar kelompok yang berbeda, termasuk suku, etnis, budaya dan agama. Kedudukan karakter sangatlah penting apalagi jika disandingkan dengan kecerdasan “intelligence plus character that is the true aim of education”. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang sangat dibutuhkan sekaligus mampu menjadi jawaban ditengah-tengah badai gelombang teknologi informasi yang menguasai kaum milenial. Tentunya terdapat indikator-indikator pendidikan karakter yang sangat relevan dengan niliai-nilai moderasi beragama, diantaranya adalah sikap religius yang menjadi pengubung antara manusia dengan Tuhan maupun manusia dengan sesamanya. Selain itu terdapat juga sikap toleransi dimana sikap seseorang untuk saling menghormati perbedaan dan memberikan ruang bagi orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya dan meyampaikan pendapat.


Sumber: Beritasatu.com

Merawat toleransi dengan kondisi masyarakat yang sangat heterogen bukanlah sebuah hal yang mudah, ditambah dengan kondisi hidup orang basudara yang saat ini masih terus berjuang meghadapi gempuran pandemi Covid 19 sekaligus dibarengi dengan trauma akan ancaman gempa bumi di wilayah ini, tentunya memberikan imbas yang seakan mengintai seluruh masyarakat Maluku termasuk generasi ini. Kemampuan setiap orang dalam menerima perbedaan menjadi faktor penting sikap toleransi, toleransi menhadirkan kebaikan untuk hidup berdampingan. Untuk menumbuhkan sikap toleran didalam setiap generasi maka dibutuhkan sikap untuk saling penegrtian, menerima perbedaan antar karakteristik masing-masing generasi.

Keberadaan generasi milenial kini telah memasuki usia produktif yang menuntut mereka untuk tanggap dan melek terhadap teknologi. Kesadaran terhadap teknologi ini dapat dipastikan ketika mengamati secara dekat (gaya) hidup kaum melenial yang kini selalu mengantongi smartphone dalam segala aktivitasnya. Meski tujuan utamanya digunakan sebagai alat komunikasi namun smartphone ini juga berfungsi sebagai sarana bersosialisasi, memperoleh informasi maupun mengekspresikan kreatifitas yang mereka kerjakan. Jika generasi ini memanfaatkan media sosial maupun dan teknologi dengan benar maka akan mendatangkan berkah, namun jika dimanfaatkan secara salah maka akan berdampak sebagai alat pemecah. Oleh sebab itu kerjasama antara pemerintah maupun stakeholder agar selalu membekali generasi milenial dengan pendidikan karakter sekaligus wawasan keagamaan yang inklusif dan disaat yang sama memiliki akidah yang mapan. Sehingga dengan moderasi beragama akan menjadi benteng dari maraknya penyebaran paham radikalisme maupun intoleransi di dunia maya.

Selain berguna bagi kemaslahatan umum, keberadaan dunia maya juga turut menjadi salah satu corong bagi penyeru terorisme dan radikalisme. Melalui situs, Blog, Vlog, Twitter, Instagram, Facebook, WhatnApp dan lain sebagainya inilah generasi ini menjadi sasaran empuk kelompok teroris atau radikal intoleran, karena generasi ini memiliki semangat keingintahuan yang tinggi dan mudah dirasuki oleh berita hoax atau hate speech untuk mengadu domba, terlebih lagi jika didalamnya disusupkan sentimen SARA maupun ideologi yang bersifat kekerasan, menyalahkan (kebijakan) pemerintah, hingga menginginkan kemerdekaan, Tentunya kondisi tersebut mampu merusak nilai-nilai luhur bangsa dan falsafah bangsa yang berdasarkan Pancasila. Berkaitan dengan hal itu, mengutip dari pesan Gubernur Irjen Pol (Purn) Drs. Murad Ismail saat membuka Kongres AMGPM ke-29 tahun 2020, menyampaikan “Pertama, pemuda gereja harus memiliki karakter keberanian. Artinya dari keberanian yang dimaksud adalah berani mengatakan benar atau salah di lingkungan sosialnya dan dalam kemasyarakatan; Kedua, Kejujuran. Pemuda gereja harus dapat mengerjakan hal-hal besar dan setia berlaku jujur terhadap hal-hal kecil; Ketiga adalah Keadilan, Keadilan akan sangat erat dengan kesejahteraan,… disinilah peran penting pendidikan karakter dan moralitas AMGMP memahami hakikat keadilan.”

 

Kamis, 02 September 2021

Indahnya Toleransi antar Mahasiswa

Indahnya Toleransi antar Mahasiswa


Foto By Ajuan Tuhuteru

Indonesia dikenal sebagai salah satu  negara yang kaya akan keragamannya yang dipandang  dari  berbagai segi baik agama,  suku,  adat istiadat,  bahkan  budaya  yang  tersebar disepanjang  daratan  dan  pulau-pulau yang ada padanya. Khusus keberagaman yang ada, (Sukmawati, Unde and Farid 2019) menyebutkan bahwa keadaan tersebut dinilai sebagai harta  kekayaan  bangsa  sebagai  wujud pemersatu  pamahaman  dan  pemikiran untuk  tetap  mempertahankan  kesatuan tanah  air  Indonesia, karenanya Negara Kesatuan Republik Indonesia selalu dilekatkan dengan kata toleransi.

Istilah toleransi berasal dari Bahasa Latin, “tolerare” yang berarti sabar terhadap sesuatu, (Bakar 2015). terminologi, toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antarsesama manusia yang bertentangan dengan diri sendiri, (Super Administrator n.d.). Jadi toleransi merupakan suatu sikap atau perilaku saling  menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antarsesama manusia terhadap perilaku orang lain.

Istilah toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat, seperti toleransi dalam beragama, di mana kelompok agama yang mayoritas dalam suatu masyarakat, memberikan tempat bagi kelompok agama lain untuk hidup di lingkungannya. Namun demikian, kata toleransi masih kontroversi dan mendapat kritik dari berbagai kalangan, mengenai prinsipprinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif, (Bakar 2015).

Meskipun demikian, toleransi antarumat beragama merupakan suatu sikap saling menghormati dan menghargai kelompok-kelompok pemeluk agama lain dalam kehidupan sosial masyarakat. Mahasiswa adalah makhluk individu dengan cara pikir yang berbeda-beda. Berada di lingkungan kampus, mahasiswa sering bertemu dengan berbagai macam orang dari berbagai latar belakang yang berbeda baik kepercayaan, suku, ras ataupun asal daerah. Mahasiswa adalah seseorang yang sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institute dan universitas (Hartaji, 2012: 5). Sementara dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI), mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi (Kamus  Bahasa Indonesia Online, kbbi.web.id).

Menurut Siswoyo (2007:121) mahasiswa dapat didefenisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi baik negeri maupun swasta atau lembaga  lainnya yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan terencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat serta tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada dirinya setiap mahasiswa yang merupakan prinsip saling melengkapi

Sebagai seorang mahasiswa, toleransi diperlukan untuk bersosialisasi sehingga mendapatkan perasaan saling menghormati dan menghargai antar sesama mahasiswa. Tentu keharmonisan yang baik dalam iklim perkuliahan mencega terjadinya perpecahan antar sesama mahasiswa, meningkatkan rasa persaudaraan, mempersatukan perbedaan, dan meningkatkan rasa nasionalisme antar sesama mahasiswa.